Makalah
“Pemerintahan dan Imarah di Hijaz”
(Raja-Raja
di Hijaz)[1]
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam realita sejarahnya, Bangsa Arab khususnya di kota Mekkah dan
Madinah terdapat beberapa sejarah tentang kekuasaan dan imaroh serta banyak
yang berkuasa di kota Mekkah dan Madinah, Karena kota tersebut merupakan tanah
yang suci yang mana dulu adalah tempat Nabi Muhammad dan para nabi lainnya di
utus Allah untuk mengemban tugas utama yaitu kalimat taukhid.
Banyak
raja-raja yang pernah berkuasa di sana, khususnya yaitu nabi Ismail yang semasa
hidupnya dulu menjaga Ka’bah yang kemudian digantikan oleh kedua putranya,
yaitu Nabat dan Qoidar.
Negara
ini banyak diminati oleh para penguasa-penguasa besar di Negara lainnnya,
sehingga terdapat perebutan kekuasaan dengan cara peperangan. Oleh karena
itulah betapa pentingnya mempelajari sejarah kekuasaan dan imaroh serta
raja-raja dikalangan Hijaz untuk menambah wawasan kita terhadap sejarah arab
pada zaman dahulu. Karena ini penting untuk diketahui, mengingat bahwasanya
qiblat orang muslim terdapat di Hijaz (Mekkah dan Madinah).
Oleh
karena itu, kami akan membahas tentang Kekuasaan dan Imarah serta raja-raja
yang pernah memimpin atau berkuasa di Hijaz (Mekkah dan Madinah). Untuk lebih
menyempurnakan makalah ini, kiranya anda memberikan kritik maupun saran untuk
memperbaiki makalah ini. Terimakasih.
B.
Rumusan Masalah
1)
Bagaimanakah
keadaan politik dan sistem pemerintahan di Hijaz?
2)
Bagaimankah
bentuk imarah di Hijaz?
C.
Tujuan dan Manfaat
1)
Mengetahui
keadaan politik dan bentuk sistem pemerintahan di HIjaz
2)
Mengetahui
bentuk imarah atau kekuasaan di HIjaz
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Keadaan Politik dan Sistem Pemerintahan di Hijaz
Sejarah Arab selama abad ke-19 hingga pertengahan pertama abad
ke-20 sulit dipahami tanpa menyusuri sejarah sebelumnya dan keterkaitannya
dengan Imperium Turki Usmani yang menduduki hampir seluruh wilayah Arab sejak
tahun 1517.[2]
Imperium Turki Usmani sejak akhir abad ke-18 M secara politik
mengalami kemunduruan drastis yang tiada bandingnya dengan masa-masa
sebelumnya. Negara-negeri Islam satu persatu jatuh ke tangan penjajah bangsa
Eropa secara politik dan ekonomi.
Sejak Turki Usmani menguasai wilayah Arab, terutama Mesir, pada
tahun 1517, Hijaz menjadi bagian dari salah satu propinsi Turki Usmani, yaitu
propinsi Mesir. Turki Usmani tidak begitu memperhatikan bangsa Arab di bidang
politik. Oleh karena itu, tidak heran apabila negeri-negeri Arab lebih terpuruk
dibandingkan dengan wilayah-wilayah Islam lainnya. Hijaz, secara politik,
nasibnya lebih buruk lagi, karena hanya merupakan satu wilayah dari propinsi
Mesir. Padahal Hijaz pernah menikmati supremasi politik atas wilayah Islam
lainnya.
Pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rosyidin Hijaz merupakan pusat
pemerintahan dan kebangkitan peradaban Islam. Penguasa pusat berkedudukan di
Madinah, sedangkan di Mekah, salah satu pusat peradaban terpenting di Hijaz.[3]
Namun, peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rosyidin kepada Bani
Umayyah merupakan peralihan dari dua periode yang sangat menentukan bagi
sejarah Hijaz, karena menyebabkan terjadinya perpinahan pusat pemerintahan
Islam dari Madinah di Hijaz ke Damaskus di Suriah.
Kekecewaan masyarakat Hijaz akan perpindahan pusat pemerintahan
oleh Muawiyah diganti dengan hadiah-hadiah yang sangat besar yang diberikan
kepada ulama dan penduduk Hijaz dengan tujuan mereka tunduk dengan pemerintahan
Damaskus. Kekecewaan penduduk Hijaz semakin besar saat Muawiyah mewariskan
tahtanya kepada putranya Yazid. Dengan dibaitnya Yazid sebagai Kholifah, orang
Mekah di bawah ‘Abdullah ibn Zubair berfikir kembali untuk mengembalikan
khilafah ke Hijaz. Hijaz digoncang pemberontakan ibnu Zubair yang akhirnya
ditaklukan oleh tentara kholifah ‘Abd al Malik ibn Marwan dibawah komando al
Hajjaj.[4]
Politik Bani Umayyah dalam mempertahankan loyalitas politik
penduduk Hijaz dengan cara member hadiah kepada penduduk Hijaz ditiru oleh Bani
Abbas. Pada masa ini pemerintahan Bani Abbas di Bagdad menjalankan pemerintahan
langsung dengan menempatkan gubenurnya di Mekah, sehingga tidak ada kemerdekaan
sama sekali bagi penduduk Hijaz dalam bidang politik.
Pada masa ini, gejolak-gejolak politik karena ketidakpuasan
terhadap Bagdad mulai muncul, yaitu gerakan-gerakan politik yang dilakukan
orang-orang ‘Alawi (keturunan dan pengikut Ali bin Abi Tholib). Persaingan
Politik antara ‘Abbasiyah dan golongan Alawi menyebabkan Mekah sejak itu tidak
pernah mengalami stabilitas. Gerakan politik ‘Alawi yang terbesar diantaranya
adalah pemberontakan al-Nafs al Zakiyyah pada tahun 145 H (762) M dengan
mengambil kota Madinah sebagai pusat pemberontakannya.
Setelah pemerintahan Abbasiyah periode I berakhir, yaitu pada waktu
pemerintahan dikuasai oleh orang-orang Turki dan kemudian orang-orang Persia,
sementara kholifah hanya berfungsi sebagai symbol pemerintahan Islam, secara
politik posisi Hijaz lebih buruk dibandingkan kota-kota Islam lainnya.
Pada masa Abbasiyah inilah Mekah diserbu oleh dinasti Qoromitah,
sebuah sempelan dari kelompok Syiah yang sebelumnya telah menegakkan
kekuasaannya di Bahrain. Ketika dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran,
tepatnya pada masa pemerintahan kholifah al-Mu’tadid, pada tahun 317 H, dinasti
Qoromitah dibawah pimpinan Abu Tahir Ibn Husain al-Qoromati, menyerang
pemerintahan dinasti Abbasiyah yang berkedudukan di Mekah, membunuh tidak
kurang dari 30.000 jamaah haji dan penduduk setempat, merampas harta dan
membawa hajar aswad dari Ka’bah ke al-Hijr, Bahrain. Dan dikembalikan
sekitar 22 tahun kemudian, yaitu pada tahun 339 H. ketika Mansur al-Alawi
pemimpin Fatimiyah di Afrika Utara berhasil membujuk pemimpin Qoromitah yaitu
Ahmad ibn Abi Sa’id al-Qoromiti. Di Hijaz, tepatnya di Mekah keturunan Ali
berhasil mendirikan pemerintahan, yang pimpinan tertingginya adalah Ja’far ibn
Muhammad, yang menurunkan para Syarif, penguasa Mekah, menggantikan posisi
pemerintahan Bani Ikhsyid sebelumnya. Sementara di Madinah berkuasa keturunan
Husain ibn ‘Ali ibn Abi Talib. Inilah awal berlakunya nizam al-asyraf (sistem
pemerintahan para syarif) di Hijaz, dengan Mekah sebagai pusatnya.
Untuk menegakkan pemerintahan di Mekah, Ja’far mendapat bantuan
dari dinasti Fatimiyah. Ja’far digantikan oleh puteranya, Isa Ibn Ja’far. Pada
tahun 384 H, Abu al Futuh ibn Ja’far putera dari Ja’far menggantikan Isa ibn
Ja’far, memproklamirkan dirinya sebagai kholifah karena mengakui dirinya lebih
utama daripada dinasti Fatimiyah.
Kekuasaan atas Mekah berada di tangan keturunan Abu al Futuh lebih
kurang selama 10 tahun. Setelah itu kekuasaan Mekah di pegang oleh golongan
Sulaimaniyah. Dinasti ketiga yang berkuasa di Mekah yaitu Dinasti Hasyim, yang
berkuasa selama satu setengah abad.
Jatuhnya Fatimiyah di Mesir kepada Ayyubiyah berdampak politik terhadap Hijaz. Kekuasaan Ayyubiyah
di Mesir berakhir pada tahun 648 H. Kemudian digantikan oleh dinasti Mamalik
Atrak, pada masa dinasti ini kota Islam yaitu Mesir (Mekah dan Madinah) di
Hijaz mengalami kemakmuran dan ketenangan.
Kekuasaan di Mesir dikuasai oleh Mamalik Sirkasia pengganti dari
Mamalik Atrak. Tetapi pada masa ini terdapat tanda-tanda kemunduran. Karena
sultannya suka berfoya-foya dan bermoral rendah. Kekuasaan Mamalik Sirkasia
dikalahkan oleh Turki Usmani dengan mudah, karena mamalik Sirkasia tidak stabil
kondisinya. Namun setelah Turki Usmani menguasai Hijaz, mereka meminta Hijaz
untuk tunduk kepada Turki Usmani (golongan yang berfaham Aswaja). Turki Usmani
menjadi penguasa pertama di dunia Islam. Pada umumnya Hijaz terdapat dualism kepemimpinan,
sanjaq yang berkedudukan di Jedah menangani persoalan-persoalan formal
kenegaraan dan penduduk kota, sementara syarif Mekah menjadi penguasa
bagi kabilah-kabilah Arab Badui Hijaz. Sementara itu di Madinah terdapat tiga
pimpinan politik: muhafiz yang merupakan perpanjangan tangan penguasa
Turki Usmani, qaimaqim syarif, yang merupakan perwaklan syarif
Mekah di Madinah, dan amir Madinah yang diduduki oleh keturunan Husain
ibn ‘Ali.[5]
B.
Imarah di Hijaz
Mekah beralih
ke tangan orang-orang Jurhum dan terus berada di tangan mereka. Anak-anak
Ismail merupakan titik pusat kemuliaan. Sebab ayahnyalah yang telah membangun
Ka’bah dan mereka tidak mempunyai kewenangan hukum sama sekali.[6]
Seiring dengan
perjalanan waktu, lama-kelamaan anak keturunan Ismail semakin tenggelam, hingga
keberadaan Jurhum semakin bertambah lemah dengan kemunculan Bukhtanashar.
Bintang Bani Adnan dalam bidang politik mulai redup di langit Mekah sejak masa
itu. Buktinya, saat Bukhtanashar berperang melawan bangsa Arab di Dzatu Irq,
pasukan bangsa Arab saat itu tidak berasal dari Bani Jurhum.
Bani Adnan
berpencar ke Yaman Ismail ‘alaihissalam menjadi pemimpin Mekah dan
mengurusi Ka’bah selama hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun. Dua
putra beliau menggantikan kedudukannya, yaitu Nabat, yang disusul Qaidar. Ada
yang berpendapat sebaliknya. Setelah itu Mudhadh bin Amr Al-Jurhimi. Maka,
kepemimpinan pada saat Perang Bukhtanashar II (tahun 587 SM), lalu pergi
bersama Ma’ad ke Syam. Setelah tekanan Bukhtanashar mulai mengendor, maka Ma’ad
kembali ke Mekah, namun dia tidak mendapatkan seorang pun dari Bani Jurhum
kecuali Jursyum bin Jalhamah. Lalu dia menikahi anak putrinya, Mu’anah dan
melahirkan Nizar.
Setelah itu
keadaan Bani Jurhum mulai suram di Mekah dan posisi mereka semakin terjepit.
Seringkali mereka berbuat semena-mena terhadap para utusan yang datang ke sana
dan menghalalkan harta di Ka’bah. Hal ini membuat murka orang-orang Bani Adnan.
Tatkala Bani Khuza’ah tiba di Marr Dzahran dan bertemu dengan orang-orang Bani
Adnan dari Jurhum hingga dapat diusir dari Mekah. Maka Bani Khuza’ah berkuasa
di sana pada pertengahan abad kedua masehi.
Ketika Bani
Jurhum berkuasa, mereka menggali sumur Zam-zam, lalu mengubur berbagai macam
benda di sana. Ibnu Ishaq berkata, “Amr bin Al-Harits bin Mudhadh Al-Jurhumi
keluar sambil membawa tabir Ka’bah dan Hajar Aswad, lalu menguburnya di sumur
Zam-zam. Kemudian bersama orang-orang Jurhum dia pindah ke Yaman.
Zaman Ismail ‘alaihissalam
diperkirakan dua puluh abad sebelum masehi. Sementara keberadaan Jurhum di
Mekah kira-kira selama dua puluh satu abad. Mereka berkuasa selama dua puluh
abad. Khuza’ah menangani urusan kota Mekah bersama-sama Bani Bakr. Hanya saja
kabilah-kabilah Mudhar juga mempunyai tiga bidang penanganan, yaitu:
1.
Menjaga Keamanan dari Arafah hingga Muzdalifah,
dan memperkenankan mereka saat meninggalkan Mina, yang boleh dilakukan setelah
Bani Ghauts bin Murrah dari suku Ilyas bin Mudhar, yang disebut Shaufah. Dengan
kata lain, orang-orang tidak boleh melempar jumrah kecuali setelah ada
seseorang dari Shaufah yang melakukannya. Jika semua orang sudah selesai
melemparkan jumrah dan hendak meninggalkan Mina, maka orang-orang Shaufah
berada di antara dua sisi Abah, dan tak seorang pun boleh lewat kecuali setelah
mereka lewat. Setelah itu orang-orang diperbolehkan lewat. Setelah orang-orang
Shaufah musnah, tradisi ini dilanjutkan Bani Sa’d bin Zaid dari Tamim.
2.
Pelaksanaan ifadhah (bertolak) dari
Juma’ ke Mina, yang menjadi wewenang Bani Udwan.
3.
Penanganan air minum selama bulan-bulan suci,
yang menjadi wewenangn Bani Tamim bin Adi dari Bani Kinanah.
Kekuasaan
Khuza’ah di Mekah berlangsung selama tiga ratus tahun. Pada masa kekuasaan
mereka, orang-orang Bani Adnan berpencar di Najd, di pingggiran negeri Iraq dan
Bahrain. Sedangkan di pinggiran Mekah ada suku-suku dari Quraisy, yaitu Hulul
dan Hurum serta suku-suku lain dari bani Kinanah. Bani Kinanah ini tidak
mempunyai wewenang sedikit pun untuk menangani Mekah dan Baitul-Haram, hingga
muncul Qushay bin Kilab. Setelah ia datang ke Mekah, ia melamar putri Hulail,
Hubba. Setelah Hulail meninggal dunia, terjadi peperangan antara Khuza’ah dan
Quraisy. Yang akhirnya membawa Quraisy menjadi pemimpin Mekah dan menangani
urusan Baitul-Haram.
Ada tiga
riwayat yang menjelaskan sebab meletusnya peperangan ini, yaitu:
1.
Setelah Qushay mempunyai banyak anak dan
hartanya pun melimpah ruah, bersamaan dengan itu Hulail pun meninggal dunia,
maka dia merasa bahwa dialah yang lebih berhak berkuasa di Mekah dan menangani
urusan Ka’bah daripada Bani Khuza’ah dan Bani Bakr. Sementara itu Quraisy
adalah pelopor keturunan Ismail. Maka dia melobi beberapa pemuka Quraisy dan
Bani Kinanah untuk mengusir orang-orang dari Bani Khuza’ah dan Bani Bakr dari
Mekah.
2.
Menurut pengakuan Bani Khuza’ah, Hulail telah
berwasiat kepada Qushay agar menangani urusan Ka’bah dan Mekah.
3.
Sebenarnya Hulail telah menunjuk putrinya,
Hubba sebagai orang yang berwenang atas penanganan Ka’bah. Lalu Abu Ghibsyan
Al-Khuza’i tampil sebagai orang yang mewakili Hubba. Maka dia pun menjaga
Ka’bah. Setelah Hulail meninggal dunia, Qushay membeli kewenangan mengurusi dan
menjaga Ka’bah dari Abu Ghibsyan, yang ia tukar dengan satu geriba arak. Tentu
saja orang-orang dari Bani Khuza’ah tidak menerima jual beli itu. Maka mereka
berusaha menghalangi Qushai agar tidak bisa tampil sebagai pengawas Ka’bah.
Sementara Qushay menghimpun beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah untuk
mengusir Bani Khuza’ah dari Mekah, dan ternyata mereka menyambut ajakan Qushay
itu.
Kemudian mereka
sepakat untuk membuat perjanjian damai. Mereka mengangkat Ya’mar bin Auf dari
Bani Bakr sebagai hakim untuk urusan Ka’bah dan berkuasa di Mekah daripada Bani
Khuza’ah. Setiap darah yang tertumpah dari pihaknya, merupakan kesalahan Qushay
sendiri dan harus menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan setiap nyawa yang
melayang dari Khuza’ah dan Bakr harus dapat tebusan. Dengan keputusan ini,
Qushay berhak menjadi pemimpin di Mekah dan menangani urusan Ka’bah. Karena
mungkin dirasa kurang adil, maka saat itu Ya’mar dijuluki Asy Syadzakh (orang
yang menyimpang).
Qushay berkuasa
di Mekah dan menangani urusan Ka’bah pada pertengahan abad kelima masehi,
tepatnya pada tahun 440M. Dengan adanya kekuasaan di tangan Qushay ini, maka
Quraisy memiliki kepemimpinan yang utuh dan sebagai pelaksana kekuasaan di
Mekah. Di samping itu, dia juga menjadi pemimpin agama di Baitul-Haram, yang
menjadi tujuan kedatangan semua Bangsa Arab dari segala penjuru.
Di antara
tindakan yang dilakukan Qushay, dia mengumpulkan kaumnya untuk membangun
rumah-rumah di Mekah dan membuat batas-batas menjadi empat bagian di antara
kaumnya. Setiap kaum dari Quraisy harus menempati tempat yang telah ditetapkan
bagi masing-masing. Dia menetapkan tempat bagi Nas’ah, keturunan Shafwan,
Adwan, dan Murah bin Auf. Dia melihat hal ini sebagai tuntutan agama yang tidak
bisa diubah lagi.
Di antara
peninggalan Qushay, dia membangun Darun-Nadwah di sebelah Utara masjid atau
Ka’bah. Pintunya langsung berhubungan dengan Masjid. Darun-Nadwah adalah tempat
pertemuan orang-orang Quraisy, untuk membicarakan masalah-masalah penting.
Bangunan ini merupakan kelebihan tersendiri bagi Quraisy, karena tempat itu
bisa mempersatukan orang-orang Quraisy dan sebagai tempat untuk memecahkan
berbagai masalah dengan cara yang baik.
Qushay
mempunyai beberapa wewenang dalam kekuasaan, yaitu:
1.
Sebagai pemimpin di Darun-Nadwa. Di tempat itu
para pemimpin Quraisy mengadakan musyawarah untuk memecahkan masalah-masalah
penting yang mereka hadapi, dan juga untuk menikahkan anak-anak putri mereka.
2.
Pemegang panji. Tak seorang pun berhak memegang
panji atau bendera perang kecuali di tangannya.
3.
Hijabah atau wewenang menjaga pintu Ka’bah.
4.
Memberi minum orang-orang yang menenunaikan
haji.
5.
Jamuan bagi orang-orang yang menunaikan haji.
Dari hasil pajak kaum Quraysi.
Qushay memiliki
dua orang anak, yaitu Abdud-Dar dan Abdu Manaf. Diantara kedua anaknya ini,
yang paling dihormati ialah putranya yang kedua yaitu Abdu Manaf. Namun
akhirnya Qushay menyerahkan kekuasaan kepada Abdud-Dar demi kemaslahatan
Quraisy. Dia berikan wewenang untuk mengurus Darun-Nadwah, hijabah, panji,
penyediaan air dan makanan. Qushay tidak menentang dan menyanggah apa pun yang
dilakukan anaknya, Abdud-Dar. Setelah Qushay meninggal dunia, kewenangan ini
terus dijalankan anak-anaknya dan tidak ada perselisihan di antara mereka.
Tetapi setelah Abdu Manaf meninggal dunia, kerabatnya dari keturunan pamannya
mulai mengusik kedudukan-kedudukan itu. Karena masalah ini, Quraisy terbagi
menjadi dua kelompok, dan hampir saja mereka saling berperang. Tetapi mereka
segera berdamai dan sepakat untuk membagi kedudukan-kedudukan tersebut.
Akhirnya ditetapkan, kewenangan mengurus air minum dan makanan diserahkan
kepada keturunan Abdu Manaf, sedangkan urusan Darun-Nadwah, panji dan hijabah
diserahkan kepada keturunan Abdud-Dar. Keturunan Abdu Manaf menetapkan untuk
membuat undian, siapakah yang berhak mendapatkan kedudukan ini. Akhirnya undian
itu jatuh kepada Hasyim bin Abdi Manaf. Setelah Hasyim bin Abdi Manaf meninggal
dunia, kedudukan ini dilanjutkan saudaranya, Al-Muththalib bin Hasyim bin Abdi
Manaf, kakeh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu
dilanjutkan anak-anaknya hingga datang Islam, dan kewenangan ini ada di tangan
Al-Abbas bin Abdul Muthalib.
Selain itu
Quraisy masih mempunyai beberapa kedudukan lain, yang dibagi di antara mereka.
Dengan begitu mereka telah membentuk suatu pemerintahan kecil, atau tepatnya
pemerintahan kecil yang demokratis. Ada pembatasan masa jabatan dan
bentuk-bentuk pemerintahan yang menyerupai sistem pemerintahan pada zaman
sekarang, yang dikenal dengan istilah parlemen dan majelis parlemen. Inilah
kedudukan-kedudukan tersebut:
1.
Al-Isar, atau penanganan tempat api pada
berhala untuk pemberian sumpah, yang menjadi wewenang Bani Jumah.
2.
Tahjirul-Amwal, atau penanganan korban nadzar
yang disampaikan kepada berhala-berhala, begitu pula penyelesaian permusuhan
dan persahabatan, yang menjadi wewenangn Bani Sahm.
3.
Permusyawaratan, yang menjadi wewenang Bani
Asad.
4.
Al-Asynaq, atau pengaturan tebusan dan denda,
yang menjadi wewenang Bani Taim.
5.
Hukuan atau membawa panji kaum, yang menjadi
wewenang Bani Umayyah.
6.
Al-Qubah, atau penanganan militer dan pasukan
kuda, yang menjadi wewenang Bani Makhzum.
7.
Duta, yang menjadi wewenangn Bani Adi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keadaan politik
dan sistem pemerintahan di Hijaz mengalami kemunduran sejak abad ke-19. Hijaz
menjadi sebuah Negara yang nasibnya menghawatirkan, karena Hijaz secara
politik, nasibnya lebih buruk lagi, karena hanya merupakan satu wilayah dari
propinsi Mesir. Padahal Hijaz pernah menikmati supremasi politik atas wilayah
Islam lainnya. Hijaz selalu diberi hadiah-hadiah mewah dari para penguasa di
HIjaz dengan alasan untuk mempertahankan loyalitas politik di Hijaz. Sejak masa
sultan Turki Usmani di Hijaz, Hijaz diperhatikan dan mengalami masa-masa
kemajuan dan hidup nyaman. Dan Turki Usmani menjadi satu-satunya khalifah di
dunia Islam.
Imarah di Hijaz,
pertamanya dipimpin oleh nabi Ismail, kemudian diakhiri dengan pemerintahan
Qushay dari keturunan Qurays yang kemudian diturunkan kekuasaannya kepada
anaknya Abdu-Dar dan Abdu Manaf dengan berbagi kekuasaan.
Daftar
Pustaka
Yatim, Badri.
1999. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
[1]
Disusun oleh: Devi Inayati (A91213148), Afie Irham M (A71213118), Siti Nur
Hidayah (A01213098). Kelas 2C
[2] , Diyâ al-Dîn al- Rais, Târîkh al-Syarq al-‘Arabî wa al-Khilâfah al-‘Usmâniyyah, Jilid 1,
(Kairo: Matba’ah Lajnah al- Bayân al-‘Arabî, 1950), h. 3-6
[3]
Ahmad al-Sibâ’î, op. cit, h. 81; Tentang Hijaz sebelum Islam. lihat Muhammad
Bayyûmî Mahrân, Dirâsât fi T”rich al-‘Arab al-Qodîm (al-Mamlakah al-‘Arabiyyah
al-Sa’ûdiyyah: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad Sa’ûd al-Islâmiyyah, 1997), h. 391-492.
[4]
Ibid, Jilid 1, h.111
[5]
Umar ‘Abd al-‘Aziz ‘Umar, op. cit.h. 26-27
Gambling in Vegas, Nevada - DrmCD
BalasHapusGambling in Vegas, Nevada. Find helpful 천안 출장샵 customer 구미 출장샵 services and review ratings 서산 출장샵 for 제주도 출장마사지 Gambling in Vegas, 전라북도 출장안마 Nevada. Learn about bonuses, games,