Read more: http://ariefbudiyantoo.blogspot.com/2013/02/cara-membuat-tulisan-berjalan-mengikuti.html#ixzz3aQuScUun

Kamis, 21 Mei 2015

PEMERINTAHAN DAN IMARAH DI HIJAZ



Makalah “Pemerintahan dan Imarah di Hijaz”
                                      (Raja-Raja di Hijaz)[1]    

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam realita sejarahnya, Bangsa Arab khususnya di kota Mekkah dan Madinah terdapat beberapa sejarah tentang kekuasaan dan imaroh serta banyak yang berkuasa di kota Mekkah dan Madinah, Karena kota tersebut merupakan tanah yang suci yang mana dulu adalah tempat Nabi Muhammad dan para nabi lainnya di utus Allah untuk mengemban tugas utama yaitu kalimat taukhid.
Banyak raja-raja yang pernah berkuasa di sana, khususnya yaitu nabi Ismail yang semasa hidupnya dulu menjaga Ka’bah yang kemudian digantikan oleh kedua putranya, yaitu Nabat dan Qoidar.
Negara ini banyak diminati oleh para penguasa-penguasa besar di Negara lainnnya, sehingga terdapat perebutan kekuasaan dengan cara peperangan. Oleh karena itulah betapa pentingnya mempelajari sejarah kekuasaan dan imaroh serta raja-raja dikalangan Hijaz untuk menambah wawasan kita terhadap sejarah arab pada zaman dahulu. Karena ini penting untuk diketahui, mengingat bahwasanya qiblat orang muslim terdapat di Hijaz (Mekkah dan Madinah).
Oleh karena itu, kami akan membahas tentang Kekuasaan dan Imarah serta raja-raja yang pernah memimpin atau berkuasa di Hijaz (Mekkah dan Madinah). Untuk lebih menyempurnakan makalah ini, kiranya anda memberikan kritik maupun saran untuk memperbaiki makalah ini. Terimakasih.


B.     Rumusan Masalah
1)      Bagaimanakah keadaan politik dan sistem pemerintahan di Hijaz?
2)      Bagaimankah bentuk imarah di Hijaz?
C.    Tujuan dan Manfaat
1)      Mengetahui keadaan politik dan bentuk sistem pemerintahan di HIjaz
2)      Mengetahui bentuk imarah atau kekuasaan di HIjaz

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Keadaan Politik dan Sistem Pemerintahan di Hijaz
Sejarah Arab selama abad ke-19 hingga pertengahan pertama abad ke-20 sulit dipahami tanpa menyusuri sejarah sebelumnya dan keterkaitannya dengan Imperium Turki Usmani yang menduduki hampir seluruh wilayah Arab sejak tahun 1517.[2]
Imperium Turki Usmani sejak akhir abad ke-18 M secara politik mengalami kemunduruan drastis yang tiada bandingnya dengan masa-masa sebelumnya. Negara-negeri Islam satu persatu jatuh ke tangan penjajah bangsa Eropa secara politik dan ekonomi.
Sejak Turki Usmani menguasai wilayah Arab, terutama Mesir, pada tahun 1517, Hijaz menjadi bagian dari salah satu propinsi Turki Usmani, yaitu propinsi Mesir. Turki Usmani tidak begitu memperhatikan bangsa Arab di bidang politik. Oleh karena itu, tidak heran apabila negeri-negeri Arab lebih terpuruk dibandingkan dengan wilayah-wilayah Islam lainnya. Hijaz, secara politik, nasibnya lebih buruk lagi, karena hanya merupakan satu wilayah dari propinsi Mesir. Padahal Hijaz pernah menikmati supremasi politik atas wilayah Islam lainnya.
Pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rosyidin Hijaz merupakan pusat pemerintahan dan kebangkitan peradaban Islam. Penguasa pusat berkedudukan di Madinah, sedangkan di Mekah, salah satu pusat peradaban terpenting di Hijaz.[3]
Namun, peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rosyidin kepada Bani Umayyah merupakan peralihan dari dua periode yang sangat menentukan bagi sejarah Hijaz, karena menyebabkan terjadinya perpinahan pusat pemerintahan Islam dari Madinah di Hijaz ke Damaskus di Suriah.
Kekecewaan masyarakat Hijaz akan perpindahan pusat pemerintahan oleh Muawiyah diganti dengan hadiah-hadiah yang sangat besar yang diberikan kepada ulama dan penduduk Hijaz dengan tujuan mereka tunduk dengan pemerintahan Damaskus. Kekecewaan penduduk Hijaz semakin besar saat Muawiyah mewariskan tahtanya kepada putranya Yazid. Dengan dibaitnya Yazid sebagai Kholifah, orang Mekah di bawah ‘Abdullah ibn Zubair berfikir kembali untuk mengembalikan khilafah ke Hijaz. Hijaz digoncang pemberontakan ibnu Zubair yang akhirnya ditaklukan oleh tentara kholifah ‘Abd al Malik ibn Marwan dibawah komando al Hajjaj.[4]
Politik Bani Umayyah dalam mempertahankan loyalitas politik penduduk Hijaz dengan cara member hadiah kepada penduduk Hijaz ditiru oleh Bani Abbas. Pada masa ini pemerintahan Bani Abbas di Bagdad menjalankan pemerintahan langsung dengan menempatkan gubenurnya di Mekah, sehingga tidak ada kemerdekaan sama sekali bagi penduduk Hijaz dalam bidang politik.
Pada masa ini, gejolak-gejolak politik karena ketidakpuasan terhadap Bagdad mulai muncul, yaitu gerakan-gerakan politik yang dilakukan orang-orang ‘Alawi (keturunan dan pengikut Ali bin Abi Tholib). Persaingan Politik antara ‘Abbasiyah dan golongan Alawi menyebabkan Mekah sejak itu tidak pernah mengalami stabilitas. Gerakan politik ‘Alawi yang terbesar diantaranya adalah pemberontakan al-Nafs al Zakiyyah pada tahun 145 H (762) M dengan mengambil kota Madinah sebagai pusat pemberontakannya.
Setelah pemerintahan Abbasiyah periode I berakhir, yaitu pada waktu pemerintahan dikuasai oleh orang-orang Turki dan kemudian orang-orang Persia, sementara kholifah hanya berfungsi sebagai symbol pemerintahan Islam, secara politik posisi Hijaz lebih buruk dibandingkan kota-kota Islam lainnya.
Pada masa Abbasiyah inilah Mekah diserbu oleh dinasti Qoromitah, sebuah sempelan dari kelompok Syiah yang sebelumnya telah menegakkan kekuasaannya di Bahrain. Ketika dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran, tepatnya pada masa pemerintahan kholifah al-Mu’tadid, pada tahun 317 H, dinasti Qoromitah dibawah pimpinan Abu Tahir Ibn Husain al-Qoromati, menyerang pemerintahan dinasti Abbasiyah yang berkedudukan di Mekah, membunuh tidak kurang dari 30.000 jamaah haji dan penduduk setempat, merampas harta dan membawa hajar aswad dari Ka’bah ke al-Hijr, Bahrain. Dan dikembalikan sekitar 22 tahun kemudian, yaitu pada tahun 339 H. ketika Mansur al-Alawi pemimpin Fatimiyah di Afrika Utara berhasil membujuk pemimpin Qoromitah yaitu Ahmad ibn Abi Sa’id al-Qoromiti. Di Hijaz, tepatnya di Mekah keturunan Ali berhasil mendirikan pemerintahan, yang pimpinan tertingginya adalah Ja’far ibn Muhammad, yang menurunkan para Syarif, penguasa Mekah, menggantikan posisi pemerintahan Bani Ikhsyid sebelumnya. Sementara di Madinah berkuasa keturunan Husain ibn ‘Ali ibn Abi Talib. Inilah awal berlakunya nizam al-asyraf (sistem pemerintahan para syarif) di Hijaz, dengan Mekah sebagai pusatnya.
Untuk menegakkan pemerintahan di Mekah, Ja’far mendapat bantuan dari dinasti Fatimiyah. Ja’far digantikan oleh puteranya, Isa Ibn Ja’far. Pada tahun 384 H, Abu al Futuh ibn Ja’far putera dari Ja’far menggantikan Isa ibn Ja’far, memproklamirkan dirinya sebagai kholifah karena mengakui dirinya lebih utama daripada dinasti Fatimiyah.
Kekuasaan atas Mekah berada di tangan keturunan Abu al Futuh lebih kurang selama 10 tahun. Setelah itu kekuasaan Mekah di pegang oleh golongan Sulaimaniyah. Dinasti ketiga yang berkuasa di Mekah yaitu Dinasti Hasyim, yang berkuasa selama satu setengah abad.
Jatuhnya Fatimiyah di Mesir kepada Ayyubiyah berdampak  politik terhadap Hijaz. Kekuasaan Ayyubiyah di Mesir berakhir pada tahun 648 H. Kemudian digantikan oleh dinasti Mamalik Atrak, pada masa dinasti ini kota Islam yaitu Mesir (Mekah dan Madinah) di Hijaz mengalami kemakmuran dan ketenangan.
Kekuasaan di Mesir dikuasai oleh Mamalik Sirkasia pengganti dari Mamalik Atrak. Tetapi pada masa ini terdapat tanda-tanda kemunduran. Karena sultannya suka berfoya-foya dan bermoral rendah. Kekuasaan Mamalik Sirkasia dikalahkan oleh Turki Usmani dengan mudah, karena mamalik Sirkasia tidak stabil kondisinya. Namun setelah Turki Usmani menguasai Hijaz, mereka meminta Hijaz untuk tunduk kepada Turki Usmani (golongan yang berfaham Aswaja). Turki Usmani menjadi penguasa pertama di dunia Islam. Pada umumnya Hijaz terdapat dualism kepemimpinan, sanjaq yang berkedudukan di Jedah menangani persoalan-persoalan formal kenegaraan dan penduduk kota, sementara syarif Mekah menjadi penguasa bagi kabilah-kabilah Arab Badui Hijaz. Sementara itu di Madinah terdapat tiga pimpinan politik: muhafiz yang merupakan perpanjangan tangan penguasa Turki Usmani, qaimaqim syarif, yang merupakan perwaklan syarif Mekah di Madinah, dan amir Madinah yang diduduki oleh keturunan Husain ibn ‘Ali.[5]
B.     Imarah di Hijaz
Mekah beralih ke tangan orang-orang Jurhum dan terus berada di tangan mereka. Anak-anak Ismail merupakan titik pusat kemuliaan. Sebab ayahnyalah yang telah membangun Ka’bah dan mereka tidak mempunyai kewenangan hukum sama sekali.[6]
Seiring dengan perjalanan waktu, lama-kelamaan anak keturunan Ismail semakin tenggelam, hingga keberadaan Jurhum semakin bertambah lemah dengan kemunculan Bukhtanashar. Bintang Bani Adnan dalam bidang politik mulai redup di langit Mekah sejak masa itu. Buktinya, saat Bukhtanashar berperang melawan bangsa Arab di Dzatu Irq, pasukan bangsa Arab saat itu tidak berasal dari Bani Jurhum.
Bani Adnan berpencar ke Yaman Ismail ‘alaihissalam menjadi pemimpin Mekah dan mengurusi Ka’bah selama hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun. Dua putra beliau menggantikan kedudukannya, yaitu Nabat, yang disusul Qaidar. Ada yang berpendapat sebaliknya. Setelah itu Mudhadh bin Amr Al-Jurhimi. Maka, kepemimpinan pada saat Perang Bukhtanashar II (tahun 587 SM), lalu pergi bersama Ma’ad ke Syam. Setelah tekanan Bukhtanashar mulai mengendor, maka Ma’ad kembali ke Mekah, namun dia tidak mendapatkan seorang pun dari Bani Jurhum kecuali Jursyum bin Jalhamah. Lalu dia menikahi anak putrinya, Mu’anah dan melahirkan Nizar.
Setelah itu keadaan Bani Jurhum mulai suram di Mekah dan posisi mereka semakin terjepit. Seringkali mereka berbuat semena-mena terhadap para utusan yang datang ke sana dan menghalalkan harta di Ka’bah. Hal ini membuat murka orang-orang Bani Adnan. Tatkala Bani Khuza’ah tiba di Marr Dzahran dan bertemu dengan orang-orang Bani Adnan dari Jurhum hingga dapat diusir dari Mekah. Maka Bani Khuza’ah berkuasa di sana pada pertengahan abad kedua masehi.
Ketika Bani Jurhum berkuasa, mereka menggali sumur Zam-zam, lalu mengubur berbagai macam benda di sana. Ibnu Ishaq berkata, “Amr bin Al-Harits bin Mudhadh Al-Jurhumi keluar sambil membawa tabir Ka’bah dan Hajar Aswad, lalu menguburnya di sumur Zam-zam. Kemudian bersama orang-orang Jurhum dia pindah ke Yaman.
Zaman Ismail ‘alaihissalam diperkirakan dua puluh abad sebelum masehi. Sementara keberadaan Jurhum di Mekah kira-kira selama dua puluh satu abad. Mereka berkuasa selama dua puluh abad. Khuza’ah menangani urusan kota Mekah bersama-sama Bani Bakr. Hanya saja kabilah-kabilah Mudhar juga mempunyai tiga bidang penanganan, yaitu:
1.      Menjaga Keamanan dari Arafah hingga Muzdalifah, dan memperkenankan mereka saat meninggalkan Mina, yang boleh dilakukan setelah Bani Ghauts bin Murrah dari suku Ilyas bin Mudhar, yang disebut Shaufah. Dengan kata lain, orang-orang tidak boleh melempar jumrah kecuali setelah ada seseorang dari Shaufah yang melakukannya. Jika semua orang sudah selesai melemparkan jumrah dan hendak meninggalkan Mina, maka orang-orang Shaufah berada di antara dua sisi Abah, dan tak seorang pun boleh lewat kecuali setelah mereka lewat. Setelah itu orang-orang diperbolehkan lewat. Setelah orang-orang Shaufah musnah, tradisi ini dilanjutkan Bani Sa’d bin Zaid dari Tamim.
2.      Pelaksanaan ifadhah (bertolak) dari Juma’ ke Mina, yang menjadi wewenang Bani Udwan.
3.      Penanganan air minum selama bulan-bulan suci, yang menjadi wewenangn Bani Tamim bin Adi dari Bani Kinanah.
Kekuasaan Khuza’ah di Mekah berlangsung selama tiga ratus tahun. Pada masa kekuasaan mereka, orang-orang Bani Adnan berpencar di Najd, di pingggiran negeri Iraq dan Bahrain. Sedangkan di pinggiran Mekah ada suku-suku dari Quraisy, yaitu Hulul dan Hurum serta suku-suku lain dari bani Kinanah. Bani Kinanah ini tidak mempunyai wewenang sedikit pun untuk menangani Mekah dan Baitul-Haram, hingga muncul Qushay bin Kilab. Setelah ia datang ke Mekah, ia melamar putri Hulail, Hubba. Setelah Hulail meninggal dunia, terjadi peperangan antara Khuza’ah dan Quraisy. Yang akhirnya membawa Quraisy menjadi pemimpin Mekah dan menangani urusan Baitul-Haram.
Ada tiga riwayat yang menjelaskan sebab meletusnya peperangan ini, yaitu:
1.      Setelah Qushay mempunyai banyak anak dan hartanya pun melimpah ruah, bersamaan dengan itu Hulail pun meninggal dunia, maka dia merasa bahwa dialah yang lebih berhak berkuasa di Mekah dan menangani urusan Ka’bah daripada Bani Khuza’ah dan Bani Bakr. Sementara itu Quraisy adalah pelopor keturunan Ismail. Maka dia melobi beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah untuk mengusir orang-orang dari Bani Khuza’ah dan Bani Bakr dari Mekah.
2.      Menurut pengakuan Bani Khuza’ah, Hulail telah berwasiat kepada Qushay agar menangani urusan Ka’bah dan Mekah.
3.      Sebenarnya Hulail telah menunjuk putrinya, Hubba sebagai orang yang berwenang atas penanganan Ka’bah. Lalu Abu Ghibsyan Al-Khuza’i tampil sebagai orang yang mewakili Hubba. Maka dia pun menjaga Ka’bah. Setelah Hulail meninggal dunia, Qushay membeli kewenangan mengurusi dan menjaga Ka’bah dari Abu Ghibsyan, yang ia tukar dengan satu geriba arak. Tentu saja orang-orang dari Bani Khuza’ah tidak menerima jual beli itu. Maka mereka berusaha menghalangi Qushai agar tidak bisa tampil sebagai pengawas Ka’bah. Sementara Qushay menghimpun beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah untuk mengusir Bani Khuza’ah dari Mekah, dan ternyata mereka menyambut ajakan Qushay itu.
Kemudian mereka sepakat untuk membuat perjanjian damai. Mereka mengangkat Ya’mar bin Auf dari Bani Bakr sebagai hakim untuk urusan Ka’bah dan berkuasa di Mekah daripada Bani Khuza’ah. Setiap darah yang tertumpah dari pihaknya, merupakan kesalahan Qushay sendiri dan harus menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan setiap nyawa yang melayang dari Khuza’ah dan Bakr harus dapat tebusan. Dengan keputusan ini, Qushay berhak menjadi pemimpin di Mekah dan menangani urusan Ka’bah. Karena mungkin dirasa kurang adil, maka saat itu Ya’mar dijuluki Asy Syadzakh (orang yang menyimpang).
Qushay berkuasa di Mekah dan menangani urusan Ka’bah pada pertengahan abad kelima masehi, tepatnya pada tahun 440M. Dengan adanya kekuasaan di tangan Qushay ini, maka Quraisy memiliki kepemimpinan yang utuh dan sebagai pelaksana kekuasaan di Mekah. Di samping itu, dia juga menjadi pemimpin agama di Baitul-Haram, yang menjadi tujuan kedatangan semua Bangsa Arab dari segala penjuru.
Di antara tindakan yang dilakukan Qushay, dia mengumpulkan kaumnya untuk membangun rumah-rumah di Mekah dan membuat batas-batas menjadi empat bagian di antara kaumnya. Setiap kaum dari Quraisy harus menempati tempat yang telah ditetapkan bagi masing-masing. Dia menetapkan tempat bagi Nas’ah, keturunan Shafwan, Adwan, dan Murah bin Auf. Dia melihat hal ini sebagai tuntutan agama yang tidak bisa diubah lagi.
Di antara peninggalan Qushay, dia membangun Darun-Nadwah di sebelah Utara masjid atau Ka’bah. Pintunya langsung berhubungan dengan Masjid. Darun-Nadwah adalah tempat pertemuan orang-orang Quraisy, untuk membicarakan masalah-masalah penting. Bangunan ini merupakan kelebihan tersendiri bagi Quraisy, karena tempat itu bisa mempersatukan orang-orang Quraisy dan sebagai tempat untuk memecahkan berbagai masalah dengan cara yang baik.
Qushay mempunyai beberapa wewenang dalam kekuasaan, yaitu:
1.      Sebagai pemimpin di Darun-Nadwa. Di tempat itu para pemimpin Quraisy mengadakan musyawarah untuk memecahkan masalah-masalah penting yang mereka hadapi, dan juga untuk menikahkan anak-anak putri mereka.
2.      Pemegang panji. Tak seorang pun berhak memegang panji atau bendera perang kecuali di tangannya.
3.      Hijabah atau wewenang menjaga pintu Ka’bah.
4.      Memberi minum orang-orang yang menenunaikan haji.
5.      Jamuan bagi orang-orang yang menunaikan haji. Dari hasil pajak kaum Quraysi.
Qushay memiliki dua orang anak, yaitu Abdud-Dar dan Abdu Manaf. Diantara kedua anaknya ini, yang paling dihormati ialah putranya yang kedua yaitu Abdu Manaf. Namun akhirnya Qushay menyerahkan kekuasaan kepada Abdud-Dar demi kemaslahatan Quraisy. Dia berikan wewenang untuk mengurus Darun-Nadwah, hijabah, panji, penyediaan air dan makanan. Qushay tidak menentang dan menyanggah apa pun yang dilakukan anaknya, Abdud-Dar. Setelah Qushay meninggal dunia, kewenangan ini terus dijalankan anak-anaknya dan tidak ada perselisihan di antara mereka. Tetapi setelah Abdu Manaf meninggal dunia, kerabatnya dari keturunan pamannya mulai mengusik kedudukan-kedudukan itu. Karena masalah ini, Quraisy terbagi menjadi dua kelompok, dan hampir saja mereka saling berperang. Tetapi mereka segera berdamai dan sepakat untuk membagi kedudukan-kedudukan tersebut. Akhirnya ditetapkan, kewenangan mengurus air minum dan makanan diserahkan kepada keturunan Abdu Manaf, sedangkan urusan Darun-Nadwah, panji dan hijabah diserahkan kepada keturunan Abdud-Dar. Keturunan Abdu Manaf menetapkan untuk membuat undian, siapakah yang berhak mendapatkan kedudukan ini. Akhirnya undian itu jatuh kepada Hasyim bin Abdi Manaf. Setelah Hasyim bin Abdi Manaf meninggal dunia, kedudukan ini dilanjutkan saudaranya, Al-Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf, kakeh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu dilanjutkan anak-anaknya hingga datang Islam, dan kewenangan ini ada di tangan Al-Abbas bin Abdul Muthalib.
Selain itu Quraisy masih mempunyai beberapa kedudukan lain, yang dibagi di antara mereka. Dengan begitu mereka telah membentuk suatu pemerintahan kecil, atau tepatnya pemerintahan kecil yang demokratis. Ada pembatasan masa jabatan dan bentuk-bentuk pemerintahan yang menyerupai sistem pemerintahan pada zaman sekarang, yang dikenal dengan istilah parlemen dan majelis parlemen. Inilah kedudukan-kedudukan tersebut:
1.      Al-Isar, atau penanganan tempat api pada berhala untuk pemberian sumpah, yang menjadi wewenang Bani Jumah.
2.      Tahjirul-Amwal, atau penanganan korban nadzar yang disampaikan kepada berhala-berhala, begitu pula penyelesaian permusuhan dan persahabatan, yang menjadi wewenangn Bani Sahm.
3.      Permusyawaratan, yang menjadi wewenang Bani Asad.
4.      Al-Asynaq, atau pengaturan tebusan dan denda, yang menjadi wewenang Bani Taim.
5.      Hukuan atau membawa panji kaum, yang menjadi wewenang Bani Umayyah.
6.      Al-Qubah, atau penanganan militer dan pasukan kuda, yang menjadi wewenang Bani Makhzum.
7.      Duta, yang menjadi wewenangn Bani Adi.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Keadaan politik dan sistem pemerintahan di Hijaz mengalami kemunduran sejak abad ke-19. Hijaz menjadi sebuah Negara yang nasibnya menghawatirkan, karena Hijaz secara politik, nasibnya lebih buruk lagi, karena hanya merupakan satu wilayah dari propinsi Mesir. Padahal Hijaz pernah menikmati supremasi politik atas wilayah Islam lainnya. Hijaz selalu diberi hadiah-hadiah mewah dari para penguasa di HIjaz dengan alasan untuk mempertahankan loyalitas politik di Hijaz. Sejak masa sultan Turki Usmani di Hijaz, Hijaz diperhatikan dan mengalami masa-masa kemajuan dan hidup nyaman. Dan Turki Usmani menjadi satu-satunya khalifah di dunia Islam.
            Imarah di Hijaz, pertamanya dipimpin oleh nabi Ismail, kemudian diakhiri dengan pemerintahan Qushay dari keturunan Qurays yang kemudian diturunkan kekuasaannya kepada anaknya Abdu-Dar dan Abdu Manaf dengan berbagi kekuasaan.












Daftar Pustaka

Yatim, Badri. 1999. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.



[1] Disusun oleh: Devi Inayati (A91213148), Afie Irham M (A71213118), Siti Nur Hidayah (A01213098). Kelas 2C
[2]               , Diyâ al-Dîn al- Rais,  Târîkh al-Syarq al-‘Arabî  wa al-Khilâfah al-‘Usmâniyyah, Jilid 1, (Kairo: Matba’ah Lajnah al- Bayân al-‘Arabî, 1950), h. 3-6
[3] Ahmad al-Sibâ’î, op. cit, h. 81; Tentang Hijaz sebelum Islam. lihat Muhammad Bayyûmî Mahrân, Dirâsât fi T”rich al-‘Arab al-Qodîm (al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Sa’ûdiyyah: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad Sa’ûd al-Islâmiyyah, 1997), h. 391-492.
[4] Ibid, Jilid 1, h.111
[5] Umar ‘Abd al-‘Aziz ‘Umar, op. cit.h. 26-27

1 komentar:

  1. Gambling in Vegas, Nevada - DrmCD
    Gambling in Vegas, Nevada. Find helpful 천안 출장샵 customer 구미 출장샵 services and review ratings 서산 출장샵 for 제주도 출장마사지 Gambling in Vegas, 전라북도 출장안마 Nevada. Learn about bonuses, games,

    BalasHapus

 
Selamat datang di blog HIMAPRO BSA