Read more: http://ariefbudiyantoo.blogspot.com/2013/02/cara-membuat-tulisan-berjalan-mengikuti.html#ixzz3aQuScUun

Kamis, 21 Mei 2015

UMRU AL-QAIS DAN SYAIRNYA



Sya’ir Umru al-qais
BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakikat sastra dan apa nilai makna yang terkandung didalamnya. Sebaliknya, penelitian terhadap sastra baru baru dimulai sesudah orang bertanya apa dan dimana nilai dan makna karya sastra yang dihadapinya, dewasa ini, kita sebagai mahasiswa sastra seyogyanya menyadari bahwa karya sastra adalah karya yang sarat akan makna, memang harus dipahami agar dapat mengetahui kandungan artinya. Disini metode memahami karya sastra salah satunya yang berupa puisi dan imajinasinya tentu diperlukan.
Puisi mengandung nilai keindahan penuh makna, sebagai bentuk ekspresi tentang sebuah pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang panca indra dalam lekukan irama, serta dapat diartikan sebagai interpretasi atau wujud pengalaman manusia yang diubah menjadi lebih berkesan, puisi mampu membawa kita pada pencampuradukan emosi, kita bahkan bisa dibuatnya menangis, tertawa, tersenyum bahkan marah.
Disamping puisi ada juga imajinasi, tau daya khayal. Dengan berimajinasi seseorang dapat merangkai puisi dengan sempurna.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Kehiduapan Umruu al-Qais ?
2.      Bagaiman karakteristik karya sastra Umruu al-Qais?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Kehiduapan Umruu al-Qais ?
2.      Untuk mengetahui karakteristik karya sastra Umruu al-Qais?









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kehidupan Umruul al-Qais
Umruu al-Qois adalah penyair dari zaman jahiliyyah, nama aslinya adalah Hunduj bin Hujr bin al-Harits bin Amr bin Hujr bin Amr. Penyair ini berasal dari suku Kindah yang pernah berkuasa di yaman. Karena itu penyair ini dikenal dengan penyair Yaman (Hadramaut). Berlakob umruul al-Qais yang berarti laki-laki keras dan Raja addlillil karena hidup jauh dari ayah dan keluargnya serta dia juga punya julukan Dzil Quruh karena luka luka yang dideritanya sebelum mati.

Umruu al-Qais adalah seorang anak dari seorang raja yaman bernama Hujur Al-kindy dan ibunya Fatimah binti  Rabia’ah saudara Kulaib Tghlibiyah seorang perwira Arab yang amat terkenal dalam peperangan Al Basus[1].

Dari segi nasab tersebut , sangat berpengaruh terhadap kepribadian penyair Yaman ini. Sejak kecil penyair ini dibesarkan di Nejed. Di tengah-tengah Bani Asad. Ia hidup dalam kalangan keluarga bangsawan yang gemar berfoya-foya. Kehidupannya sebagai anak seorang raja sangat berpengaruh sekali dalam pembentukan kepribadiannya. Ia memiliki kebiasaan bermain cinta , bermabuk-mabukan, dan melupakan segala kewajiban sebagai anak raja yang seharusnya pandai mawas diri dan berlatih untuk memimpin masyarakat.ia kerap kali dimarahi oleh ayahnya dan akhirnya diusir dari istana.

Selama masa pembuangan , Umruu Al-Qais bergabung dengan para penyamun, preman / brandalan , serta tunawisma arab yang sebaya dengannya. Ia mengembara ke sebagian besar daerah jazirah arab untuk menghabiskan waktunya bersama masyarakat Badui. Masa pengembaraan penyair ini berlangsung cukup lama[2]. Dan pengalaman pengembaraannya itu kelak membawa pengaruh yang amat kuat pada puisi-puisinya. . puisi Umru’ Al-Qais memiliki nilai lebih, baik dari keindahan maupun sistematika bahasa dibandingkan dengan penyair lain yang tidak banyak berkelana.

 Kebiasaan buruk Umruu Al-Qais tidak juga hilang neskipun dalam masa pembangunan. Suatu hari , ketika ia sedang berada di salah satu warung minuman dan hiburan di Dammun, datang seorang kurir menyampaikan berita mengenai kematian orang tuanya yang terbunuh di tangan kabilah Bani Asad. Mendengar berita itu tidak membuatnya terkejut dan menuntut balas, dan berita itu tidak disambut baik bahkan bermalas-malasan ia berkata :
" ضيعني صغيرا, وحملني دمه كبيرا,لا صحو اليوم ,ولاسكرغدا,اليوم خمر,وغدا أمر "
 “ Dulu , sewaktu aku kecil , aku di buang , dan kini setelah aku dewasa, aku dibebani dengan darahnya,biarkan saja urusan itu, sekarang waktunya untukbermabuk-mabukan, dan esok barulah waktu untuk menuntut darahnya”[3].
            Esok harinya Ia berangkat menuju ke Nejad untuk menuntut balas kematiaan orang tuanya. Untuk melaksankan niatnya itu Umruu al-Qais terpaksa meminta bantuaan kekabilah-kabilah Arab yang masih famili, kabilah Taglib dan Baka. Sehingga pertempuran iniberkecamuk lama dan akhirnya pasukanya dapat membunuh sebagian besar pasukan Bani Asad. Ketika Umruu al-Qais menginginkan kemenangan lebih, para sekutunya mulai meninggalkannya. Bani Asad meminta bantuan Kaisar Anwa Sirwan (Raja Persia), sehingga tentara Qais kacau balau. Qais kemudian meminta bantuan kesana kemari. Kepada Samuel ibn Adi pemimpin kabilah Yahudi, dan menitipkan harta dan pasukannya, kemudian ia melarikan diri menuju kerajaan Romawi Timur (Byzantium) di Turki. Di tengah perjalanan, penyair itu terbunuh oleh musuhnya dan di makamkan di kota Angkara, Turki, dan tidak diketahui secara pasti tahun berapa ia terbunuh, diperkirakan kurang lebih 82 tahun sebeum Hijriyyah atau 530-540 Masehi.
B.     Karya Sastra Umruu al-Qais
Sebagian besar ahli sastra arab berpendapat bahwa diantara puisi-puisa al-Mu’allaqat , puisa Umru’ Al-Qais merupakan puisi yang paling terkenal dan menduduki posisi penting dalam khazanah kesusastraan arab jahiliyyah. Mu’allaqat Umru’ Al-Qais merupakan peninggalan yang paling monumental yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan kesusastraan Arab pada masa-masa selanjutnya. Puisi – puisinya seringkali dipakai sebagain referensi dalam kajian ilmu-ilmu bahasa Arab {nahwu,shorof maupun balaghah }.
     Keistimewaan puisi-puisinya antara lain :
a.       Kekuatan daya khayalnya dan pengalaman dalam pengembaraannya
b.      Bahasa yang digunakan sangat tinggi dan isinya padat
c.       Bait-bait puisinya menggambarkan cerita yang panjang, satu bait puisinya memiliki tujuan yang sangat banyak.
d.      Keindahan yang terletak pada caranya yang halus dalam puisi ghazalnya
e.              Ditambah dengan gaya isti’arah(kata-kata kiasan dan perumpamaaan)
       Umru’ al-Qais juga dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan cara menarik perhatian dengan cara istifakus-shahby, cara seperti ini sangat menarik bila digunakan dalam puisi ghazal dan tasybib (cara untuk merayu wanita), dan cara seperti itulah yang amat digemari penyair Arab untuk membuka kasidahnya untuk menarik perhatian orang. Ia juga dianggap sebagai penyair pertama dalam mensifati kecantikan seorang wanita dengan mengumpamakannya seperti seekor kijang yang panjang lehernya , karena seorang wanita yang panjang lehernya menandakan sebagai seorang wanita yang cantik.
       Beberapa tema bait-bait puisinya yang terkumpul dalam kasidah mu’allaqatnya ,antara lain :
a)              Mengenai perpisahan seorang sahabat
b)             Mengenai hari daratul jaljal sebagai cerminan kisah romantis
c)              Mengenai senda gurau yang di ibaratkan pertarungan dengan seorang pelacur
d)             Mengenai do’a untuk kekasihnya Unaizah ,sebagai persembahan cinta yang sejati
e)              Mengenai pertarungan untuk merebut idaman hati
f)              Menggambarkan malam dan waktu-waktu yang dilaluinya, serta kejadian-kejadian yang dialaminya
g)             Mengenai penderitaan akan kegagalan
h)             Mengenai simbiolisasi kuda dengan kecepatan yang luar biasa
i)               Mengenai pengibaratan pemimpin suku Badui dengan kilat dan hujan , sedangkan pengikutnya dengan jurang yang dalam dan pegunungan yang tinggi.
      Walaupun pemakaian kata-kata kiasan , pengibaran dengan alam, dan simbiolisasinya, tidak hanya didominasi oleh puisi Umruu al-Qais tetapi dilakukan oleh penyair lain. Akan tetapi, para ahli puisi arab berpendapat bahwa ialah orang pertama kali menciptakan puisi-puisi controversial pada zamannya, dan tidak jarang kata-kata yang bernada sinisme juga dipakai o;eh Umruu al-Qais dalam puisi-puisinya.

Puisi umruul al- qais banyak yang hilang, yang tersisah hanya sebagian kecil yang terselamatkan, yaitu kurang lebih ada 25 kasidah. Kasidah tersebut pernah di cetak pertama di Paris tahun 1838,  cetakan kedua di lengkapi dengan penjelasannya yaitu di Mesir tahun 1865, cetakan ketiga 1890 di Mesir, cetakan terakhir di terjemahkan di dalam bahasa latin dan bahasa Jerman dengan tiga puisinya yang terkenal[4].
قِفاَ نَبكِ من ذِكرى حَبِيبٍ و مَنزِلٍ       *       بِسِقطِ اللوَى بينَ الدخُول فَحَومل
الاعِمْ صَباحاً ايُّها الطّللٌ البالى                *          وَهلْ يَعِمَنْ مَنْ كانَ في العُصرِ الخالى
 خَليْليَّ مُرًّ بينَ على أُمِّ جُنْدُبٍ          *         لِتَقضَى لباناتِ القُؤاد المُعَدَّبِ
“Marilah kita berhenti sejenak, dan meratapi kekasih di daerah Syiqtulliwa, yaitu kota yang terletak antara kota Dakhul dan Haula. Karena kota tersebut dalam benakku mengandung makna khusus untuk mengenang peristiwa penting dan kenangan abadi yang terjadi antara saya dan kekasih saya.
Hai tempat yang dahulu, lamakah masa pagimu, apakah si penghuni sekarang juga masih tetap seperti penghuni dahulu sebagaimana saya ketahui itu.
Kekasihku dulu bernama Umi Jundub, marilah kita semua berhenti sejenak di bekas tempat tinggalnya itu sebagai pelipur lara dan penghibur hatiku yang sedang duka.”
Ghazal  tersebut diatas adalah mempunyai gaya bahasa yang tersendiri, dan gaya bahasa tersebut juga sudah biasa dipakai penyair-penyair kita yang terkemudian. Yaitu gaya bahasa dengan mengenang kisah cinta abadi yang masih dirasakan keindahannya oleh penyair dan kekasihnya ( Unaizah atau Fathimah ) di samping itu, penyair juga menentukan bahwa dirinya mengenal dan mendalami kejiwaan wanita. Kadang – kadang Umruu al-Qais juga mengenang keindahan wanita bersama dengan mengenang kenikmatan harta benda dan kekayaan sebagai seorang putra raja[5].
Kadang – kadang ia mengungkapkan puisi ghazal bersamaan dengan mengungkap tujuan lain, misalnya : memanggil seseorang, meratapi seseorang, mengharapkan seseorang, merasakan kehinaan dan merasakan keluhuran sebagaimana ungkapannya.:
أَفاَطِمُ مَهْلاً بَعْدَ هذاالتَّذَلُّل      *      وَإِنْ كُنْتِ قَدْ أزْمَعْتِ صَرْمى فأَجْمِلىْ
أغُرُّكِ مِنِّى أنَّ حُبّك قَاتِلِىْ     *     وَإنّكَ مَهْماَتأمُرِىْ القَلبَ يَفعَلِ
“Hai Fathimah, tunggulah sebentar, coba dengarkanlah kata-kata ini, apakah kau akan memutuskan cintaku ini, setelah kau mencintaiku dengan sepenuh hati?
Apakah kau merasa tertipu dengan cinta yang kuberikan kepadamu itu? Itulah yang menyebabkan hatiku gundah dan putus harapan, katakanlah dengan terus terang wahai kekasihku, apakah dinda merasa tertipu?”
Ada lagi puisi Umruu al-Qais yang sudah diabadikan yang disebut Mu’allaqat, yaitu dia mengungkapkan kegelapan malam dan keindahan kudanya:
وَلَّيلِ كَمَوْجِ البَحْرِ أرْخَى سُدُوْلهُ     *    عَلَيَّ بِأَنْواعِ الهُمُوْمِ لِتَبْتَلى
فَقُلت لهُ لَمّاَ تَمَطَّى بصلّبهِ             *     وَأرْدَفَ إعْجازاً وَناَءَ بكَلّكَلِ
ألاأيُّهاَ اللّيْلُ الطويلُ ألاَانجَل          *     بصبحِ وَماَ الإصباحُ مِنْكَ بأمْثلِ
 فَياَلكَ مِنْ لَيْلٍ كَأَنَّ نُجُوْمَهُ            *     بكُلِّ مَغاَرِالفتلِ شُدَّتْ بيَذْبَلِ
           Artinya : “Malam bagaikan debur ombak lautan yang menggelarkan airnya, saya merasakan musibah beban saya yang makin berat, terus-menerus dan bertubi-tubi tanpa henti-hentinya, apakah dengan musibah itu saya masih bisa menunjukkan kesabaran atau saya malah tidak tabah bahkan selalu ketakutan?
Setelah saya memperkirakan bahwa beban musibah itu hampir usai, namun perkiraan saya itu meleset, jadi musibah bukan usai tetapi malah makin menjadi-jadi dan sayapun makin terseok-seok kepenatan.
Oleh karena itu, maka saya katakan pada malam yang gelap, “Hai malam percepatlah perjalananmu segera selesaikan tugasmu, agar kegelapanmu cepat hilang, dan beban pikiranku yang kacau balau cepat berganti dengan kejernihan dan keindahan sinar pagi. Saya mengira pagi lebih baik daripada kegelapan malam.
Namun ternyata perkiraanku meleset juga, sinar pagipun tidak membawa kecerahan, ketenangan, dan keamanan, kedukaanku terus bertambah siang dan malam.[6]
Sebenarnya penyair ini akan mengutarakan betapa malang nasibnya. Dimana keresahan hatinya akan bertambah susah bila malam hari tiba. Karena pada saat itu dia merasakan seolah-olah malam itu sangat panjang sekali. Sehingga ia mengharapkan waktu pagi hari segera tiba, agar keresahannya akan berkurang, namun keresahan itu tidak jua berkurang walaupun pagi hari telah tiba. Contoh diatas merupakan bukti nyata akan kepandaian penyair ini dalam menggambarkan sesuatu keadaan. Sehingga keadaan atau peristiwa itu seakan-akan benar tejadi adanya. Contoh diatas memberikan gambaran kepada kita, bagaimanakah penyair itu memberikan gambaran yang sangat besar akan keresahan yang melandanya dan dialaminya pada waktu itu, sehingga baik pada waktu malam hari maupun pagi hari keresahan itu tetap saja mengikutinya seperti seseorang yang selalu diikuti bayangannya ketika hendak menggerakan kakinya dalam sinaran bulan purnama di malam hari yang segelap lautan[7].













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Umruu al-Qais berasal dari suku Kindah, yaitu suatu suku yang pernah berkuasa penuh di Yaman. Karena itu Umruu al-Qais lebih dikenal sebagai penyair Yaman dan Hadramaut. Ditinjau dari segi nasab, penyair ini sangat berpengaruh terhadap kepribadiannya.
Sejak kecil ia dibesarkan di Nejad, di tengah-tengah Bani Asad. Di lingkungan keluarga bangsawan kaya raya yang suka berfoya-foya. Selain itu ia juga mempunyai beberapa kebiasaan buruk lainnya seperti mabuk-mabukan dan bermain perempuan, hingga ia melalaikan kewajibannya sebagai putra mahkota untuk menjaga nama baik kerajaan dan berlatih memimpin masyarakat. Ia kerap kali dimarahi oleh ayahnya, bahkan akhirnya ia diusir dari istana.
Banyak pengalaman-pengalaman yang begitu mempengaruhi karya sastranya. Pengalaman disini adalah pengalaman yang menyakitkan dan mengiris hatinya seperti kandas cintanya dengan sang kekasih Unaizah, keluarganya dibunuh dan kerajaan ayahnya runtuh oleh musuh, kalah dalam perang menuntut balas dendam kematian ayahnya.
Beberapa puisi Umruu al-Qais banyak yang hilang, dan yang tersisa hanya sebagian kecil yang terselamatkan, yaitu kurang lebih ada 25 kasidah. Kasidah tersebut pernah dicetak pertama di Paris tahun 1838, cetakan kedua dilengkapi dengan penjelasannya yaitu di Mesir tahun 1865, cetakan ketiga yaitu pada tahun 1890 di Mesir. Cetakan terakhir diterjemahkan kedalam bahasa latin dan bahasa Jerman dengan 3 puisinya yang terkenal sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan.










BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asytar, M. Shabri. 1994. Al-‘Ashru al-Jahily al-Adab wa al-Nushush-Mu’allaqot. Jamiah Halb Kulliah al-Lughah
Qutaibah, Ibnu.  Al-Bayan Wa al-Tahyin.  Kairo: Dar al Ma’arif
Al-Ali, Abd. Dan Nu’aim, Ali. 1987.  Masyhir al-Syu’ara. Beirut: Dar al-Fikr
Dahlan, Juwairiyah. 2009. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Jauhar
Wargadinata, H. Wildana.2008.Sastra Arab Lintas Budaya .Malang: UIN malang Press.



1.        M. Shabri al-Asytar : al-‘Ashru al-Jahily al-Adab wa al-Nushush-Mu’allaqot (Jamiah Halb Kulliah al-Lughah 1994), hal 79
2.        Ibnu Qutaibah: Al-bayan wa al-Tahyin (Kairo: Dar al-Ma’arif,t.t) hal 92
3.       Abd, Al-Ali dan Ali Nu’aim: Masyahir al-syu’ara (Beirut,Dar al-Fikr,1987), hal 391
4.       Juwairiyah Dahlan : Sejarah sastra Arab Masa Jahili (Surabaya, Jauhar, 2009), hal 44
5.       Ibid hal 45
6.       Ibid hal 46
7.       H. Wildana Wargadinata: Sastra Arab Lintas Budaya (Malang, UIN Malang Press, 2008)

1 komentar:

  1. Mohon maaf, minta izin untuk mengutip salah satu syairnya. terima kasih banyak.. jajakumullahu khoiron

    BalasHapus

 
Selamat datang di blog HIMAPRO BSA